Oleh : Nuy Rebel
Pengantar : Studi Kasus Vokasi UGM
Cukup lama terdengar kabar tentang adanya pemisahan seluruh program D3 di UGM menjadi satu, akhirnya isu ini pun benar-benar terjadi. Setelah keluarnya Surat Keputusan dari Rektor UGM No. 518/P/SK/HT/2008, yang ditetapkan pada tanggal 27 Oktober 2008 akhirnya pembentukan suatu institusi yang menampung seluruh mahasiswa Program D3 di berbagai fakultas di lingkungan UGM kini tinggal menunggu masa peralihan. Sesuai dengan SK yang telah ditetapkan tersebut, institusi yang didirikan itu bernama “Sekolah Vokasi” disingkat “SV” yang berkedudukan di bawah Universitas.
Mengutip dari pernyataan SK Rektor yang berbunyi :
“bahwa pengelolaan Program Diploma di lingkungan Universitas yang saat ini masih terintegrasi dengan program S-1, telah menyebabkan pengelolaannya cenderung tidak efektif, efisien dan profesional sebagai program pendidikan yang berorientasi kerja sehingga perlu dipisahkan pengelolaannya dengan Fakultas”
Sekolah Vokasi dilansir oleh UGM akan mempermudah proses pengelolan menjadi lebih efektif, efisien dan profesional. Sehingga dalam peralihannya, paling lambat tiga tahun setelah SK tersebut ditetapkan maka seluruh mahasiswa Program D3 yang berada di fakultas-fakultas dan mempunyai status sebagai mahasiswa program D3 di fakultas tertentu di lingkungan UGM akan berubah statusnya menjadi mahasiswa Sekolah Vokasi UGM.
Karena berada langsung dibawah universitas, maka dalam pengelolaannya bertanggung jawab langsung kepada Rektor seperti halnya fakultas-fakultas yang ada di lingkungan UGM saat ini. SV ini dipimpin oleh seorang Direktur dan dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Wakil Direktur, yang membidangi Bidang-bidang antara lain : Bidang Akademik dan Pengabdian kepada Masyakat, Bidang Administrasi Keuangan dan SDM, Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, serta Bidang Kerjasama dan Pengembangan Usaha. Dan untuk pertama kalinya, Direktur SV dipilih oleh Tim Khusus Persiapan Pemilihan Pimpinan SV yang dibentuk berdasarkan Keputusan Rektor.
Selanjutnya Sekolah Vokasi mempunyai beberapa Departemen yang berfungsi sebagai unit pelaksana akademik dan administrasi yang mengkoordinasikan penyelenggaraan program pendidikan Vokasi dan/atau profesi terkait berdasarkan pengelompokan sebagian atau satu bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu. Kemudian beberapa Program Studi akan berada di bawah Departemen-Departemen tersebut yang berfungsi sebagai unit akademik dasar pelaksana SV yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dan/atau profesi terkait dan penelitian terapan yang diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan agar peserta didik dapat menguasai pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Antara tahun 2006-2008 (saat Sekolah Vokasi belum terbentuk), UGM pernah membuka kesempatan alih jalur dari jenjang diploma III ke S-1 atau dikenal dengan istilah S1-Swadaya. Ada empat program studi yang diberi kesempatan, yaitu Pariwisata, Hukum, MIPA, dan Kesehatan Hewan. Namun terhitung sejak diberlakukan SK tersebut, dinyatakan bahwa sehubungan dengan dibukanya Sekolah Vokasi maka Seluruh Fakultas di lingkungan UGM tidak diperkenankan untuk membuka Program D3. Sehingga dapat dipastikan mulai tahun 2009 Program D3 tidak akan lagi dibuka oleh Fakultas, melainkan oleh Sekolah Vokasi. Dan pada nantinya Sekolah Vokasi tidak hanya akan membuka D3, melainkan D1, D2 dan D4 akan dibuka, dan sebagai konsekuensinya S1-Swadaya yang masih diselenggarakan di beberapa Fakultas akan diatur kembali oleh keputusan rektor selanjutnya.
Protes dari mahasiswa pun membuncah seiring dengan makin simpang siurnya keputusan rektor perihal implementasi sekolah vokasi ini !
Persoalannya, Sekolah Vokasi sampai saat ini belum terdaftar di pendidikan tinggi. Sehingga tidak jelas nasib mahasiswa D3 UGM. Kampus pun hanya memberi saran untuk melanjutkan jenjang S1 di universitas lain, atau menunggu di bukanya jalur D4. Dan persoalan memang tidak selesai begitu saja, karena untuk pembukaan D4 tidak semua prodi langsung bisa menyesuaikan SK rektor tersebut, nasib mahasiswa vokasi pun terkatung-katung. Artinya, untuk mendapatkan gelar S1 di UGM mahasiswa harus fresh from beginning !
Mahasiswa Korban Kapitalisme
Sudah menjadi semacam rahasia umum di antara kita bahwa ada semacam “kasta” dalam jenjang pendidikan tinggi. Yakni, kita tahu bahwa S1 dipandang lebih tinggi dari D3, bahkan mungkin D4 sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia kerja, CPNS yang bergelar ahli madya ditempatkan pada golongan II/C, sedangkan yang bergelar sarjana pada golongan III/A. Di berbagai lowongan kerja, lebih banyak yang mencari lulusan S1 dibandingkan D3 dan D4. Jadi bukankah wajar jika banyak calon mahasiswa yang mendamba-dambakan gelar sarjana muda daripada diploma?
Di Indonesia, program sekolah vokasi sama sekali baru. Memang jika di analogikan program sekolah vokasi mirip dengan sekolah kejuruan, dimana orientasi dunia kerja bagi lulusannya. Sementara program sarjana dipersiapkan untuk kebutuhan analitis. Hal ini persis dengan kurikulum pendidikan yang di terapkan negara-negara imperialis seperti Inggris (Havard, Oxford, dsb) di mana ada pemisahan substansi ilmu pengetahuan yang memisahkan teori dan praksis. Di masa depan akan ada lulusan yang khusus di praksis (dari sekolah vokasi) dan khusus di teoritis (dari fakulti), namun secara esensi tetap mereka buruh yang akan diperbudak system kapitalisme. Yang menjadi pertanyaan, cocok kah kurikulum itu di implementasikan di Indonesia ? Apakah memang mahasiswa tak lebih dari kelinci percobaan kurikulum kebarat-baratan tersebut ?
Nyata praktek liberalisasi pendidikan semakin marak saja. Terkait dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010, mendiknas meminta perguruan tinggi negeri (PTN) diminta tidak mengandalkan perolehan dana dari biaya kuliah mahasiswa, namun itu berbalik arah justru pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono dan elit-elit borjuasi lainnya mengembangkan cara baru dalam memberikan bantuan ke PTN dengan mendorong kampus-kampus untuk menekan pendapatan dari uang kuliah mahasiswa, karena dengan cara itulah kampus tersebut bisa mendapatkan pemasukan yang tinggi dengan memanfaatkan program-program kampus maupun program wajib kampus, tidak terlupakan penambahan dalam daftar mata kuliah yang sesuai kebutuhan pasar semisal riset dll. Sekolah vokasi pun demikian, di satu sisi membuka lebar akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, namun dengan biaya yang cukup fantastis, sama saja bohong.
Fakta yang terjadi, program pendidikan tinggi baik vokasi maupun sarjana tidak mampu menjamin masa depan anak bangsa. Tengok saja angka pengangguran sepanjang tahun 2009-2010 pemerintahan SBY-Boediono hanya mampu menurunkan 1,5 persen memasuki tahun 2011 pengangguran terbuka sekarang ada pada angka 9,24 juta. Tetap saja, sektor pendidikan sudah mulai mantap dengan penyusaian-penyusaian sesuai kebutuhan sistem kapitalisme, kebutuhan pasar seperti; kurikulum vokasi. Maka akan sangat ironis manakala pendidikan terdistorsi dari hakikatnya yang mulia yaitu memanusiakan manusia, sebagai alat pembebasan-bebas dari segala bentuk kebodohan, bebas dari kemiskinan singkatnya bebas dari penghisapan manusia atas manusia. Itulah yang paling prinsip dari nilai pendidikan.
Seruan : Galang Kekuatan, Tolak Kapitalisasi Pendidikan !
Kapitalisasi pendidikan dari segi biaya tak perlu di sangsikan lagi. Seiring dengan proses kapitalisasi pendidikan yang semakin massif akhir-akhir ini, biaya pendidikan semakin melonjak dan menutup akses bagi masyarakat indonesia berpenghasilan pas-pasan. Semenjak tahun 2000 hingga Juli 2011 biaya pendidikan mengalami kenaikan ± 288%. Artinya di Indonesia setiap tahun mengalami kenaikan biaya pendidikan mendekati 20%, ini adalah suatu angka yang menakjubkan, ditengah-tengah masyarakat yang sedang terhimpit oleh situasi ekonomi dan harga kebutuhan yang mengalami inflasi. Kurikulum ibarat barang dagangan dan kampus sebagai minimarketnya. Anggaran pendidikan 20 % yang di gembar-gemborkan pemerintah, nyata tak dapat dirasakan anak bangsa. Sebab 20 % termasuk biaya pendidikan militer serta gaji guru dan dosen, bukan dipergunakan untuk memperluas kesempatan anak bangsa mengenyam pendidikan gratis. Implementasi UUD 1945 Pasal 31 bahwa setiap warga negara (tanpa kecuali) berhak mendapatkan pendidikan, akankah sekedar omong kosong ?
Lain lagi, persoalan yang makin panas terasa di beberapa kampus (represifitas terhadap BEM di UTY, skorsing sepihak di UMY, konflik yayasan di Trisakti dan UISU, kasus vokasi di UGM, dan banyak lagi) telah menegaskan mahasiswa sebagai tumbal kapitalisasi pendidikan. Kongkrit saja, hari ini mahasiswa memang jarang di libatkan dalam pengambilan kebijakan di kampus, kendati ada Senat maupun BEM fakultas (masih saja gerak lembaga mahasiswa didikte kampus). Namun pastisipasi aktif seluruh mahasiswa di kampus sangat minim. Jelas kampus harus membuka ruang demokrasi bagi mahasiswa seluas-luasnya, dan perlu setiap pengambilan kebijakan kampus suara mahasiswa harus dihargai 50%.
Jika bukan mahasiswa yang bergerak menjawab persoalan-persoalan kapitalisasi pendidikan, siapa lagi ? Gerakan mahasiswa harus bangkit. Gerakan mahasiswa harus banyak berbenah mengingat makin menurunnya kualitas dan kuantitas perjuangan, yaitu dengan membuat strategi dan taktik untuk menjawab gerak mahasiswa yang makin disorientasi dan fragmentatif.
Pertama, terlalu seringnya gerakan mahasiswa menjadi alat politis bagi elit-elit borjuasi baik sebagai alat untuk memenangkan kampanye-kampanye politik maupun sebagai alat mengegolkan isu-isu elitis. Kasus Miranda Gultom, kasus KPK maupun kasus-kasus elit yang lain, selama tahun 2010 ini dapat menjadi pelajaran kita bersama. Akan sangat mudah bagi elit-elit borjuasi mengarahkan gerakan mahasiswa yang tidak memiliki prespektif dan langgam perjuangan yang jelas. Dalam artian langgam perjuangan yang sepenuh-penuhnya berdasar pada satu tindakan perjuangan bagi hak-hak massanya.
Kedua, gerakan mahasiswa harus membangun alat-alat persatuan perjuangan massa mahasiswa. Dalam hal ini adalah alat persatuan yang tidak hanya bertugas sebagai alat perjuangan yang luas bagi gerakan mahasiswa. Namun juga memiliki tugas untuk menyelesaikan segala persoalan subyektif yang selama ini menjadi pemicu terpecah-pecahnya gerakan mahasiswa. Alat perjuangan yang dibangun atas satu kesadaran bahwa persatuan bukanlah proses yang instan dan dipaksakan, akan tetapi dia berangkat dari irisan-irisan pandangan dan kepentingan yang sama dari elemen-elemen gerakan mahasiswa.
Dan ketiga, hingga saat ini gerakan mahasiswa harus membangun satu korelasi perjuangan dengan gerakan sektoral rakyat terutama gerakan buruh maupun gerakan tani di Indonesia. Hal ini penting bagi gerakan mahasiswa untuk bersentuhan dengan sektor rakyat dalam mempengaruhi persefektif gerakan buruh menuju kualitas pandangannya sampai saatnya mereka sadar akan pentingnya melawan kekuasaan tata produksi kapitalisme. Manifestasi korelasi ini bukan hanya dalam bentuk aksi-aksi solidaritas semata. Lebih jauh dari itu adalah sebuah tindakan bersama antar keduanya dalam usaha sama memajukan prespektif perjuangan, memajukan perluasan perjuangan, serta menguatkan perjuangan di masing-masing sektornya.
Kapan lagi kalo tidak segera kita perbaiki mulai dari sekarang. Setiap ada potensi gejolak di kampus hendaknya gerakan mahasiswa mulai sadar, bahwa menggalang kekuatan bersama baik internal maupun eksternal adalah suatu keharusan. Sebagai langkah maju dalam perjuangan menuju demokratisasi kampus.
“Tolak Kapitalisasi Pendidikan !” adalah tuntutan pokok,
“Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis Bervisi Kerakyatan” adalah seruan wajib.
Sumber :
forkomsiugm.wordpress.com, 9 Desember 2011
http://kabulkurniawan.com
Kompas.com, 24 Februari 2009
http://edukasi.kompas.com. Selasa, 6 Desember 2011 Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM Tuntut Pindah ke S-1
http://metrotvnews.com. Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM Kembali Berunjuk Rasa. Selasa, 6 Desember 2011
suaramerdeka.com, 8 Desember 2011.
Cukup lama terdengar kabar tentang adanya pemisahan seluruh program D3 di UGM menjadi satu, akhirnya isu ini pun benar-benar terjadi. Setelah keluarnya Surat Keputusan dari Rektor UGM No. 518/P/SK/HT/2008, yang ditetapkan pada tanggal 27 Oktober 2008 akhirnya pembentukan suatu institusi yang menampung seluruh mahasiswa Program D3 di berbagai fakultas di lingkungan UGM kini tinggal menunggu masa peralihan. Sesuai dengan SK yang telah ditetapkan tersebut, institusi yang didirikan itu bernama “Sekolah Vokasi” disingkat “SV” yang berkedudukan di bawah Universitas.
Mengutip dari pernyataan SK Rektor yang berbunyi :
“bahwa pengelolaan Program Diploma di lingkungan Universitas yang saat ini masih terintegrasi dengan program S-1, telah menyebabkan pengelolaannya cenderung tidak efektif, efisien dan profesional sebagai program pendidikan yang berorientasi kerja sehingga perlu dipisahkan pengelolaannya dengan Fakultas”
Sekolah Vokasi dilansir oleh UGM akan mempermudah proses pengelolan menjadi lebih efektif, efisien dan profesional. Sehingga dalam peralihannya, paling lambat tiga tahun setelah SK tersebut ditetapkan maka seluruh mahasiswa Program D3 yang berada di fakultas-fakultas dan mempunyai status sebagai mahasiswa program D3 di fakultas tertentu di lingkungan UGM akan berubah statusnya menjadi mahasiswa Sekolah Vokasi UGM.
Karena berada langsung dibawah universitas, maka dalam pengelolaannya bertanggung jawab langsung kepada Rektor seperti halnya fakultas-fakultas yang ada di lingkungan UGM saat ini. SV ini dipimpin oleh seorang Direktur dan dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Wakil Direktur, yang membidangi Bidang-bidang antara lain : Bidang Akademik dan Pengabdian kepada Masyakat, Bidang Administrasi Keuangan dan SDM, Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, serta Bidang Kerjasama dan Pengembangan Usaha. Dan untuk pertama kalinya, Direktur SV dipilih oleh Tim Khusus Persiapan Pemilihan Pimpinan SV yang dibentuk berdasarkan Keputusan Rektor.
Selanjutnya Sekolah Vokasi mempunyai beberapa Departemen yang berfungsi sebagai unit pelaksana akademik dan administrasi yang mengkoordinasikan penyelenggaraan program pendidikan Vokasi dan/atau profesi terkait berdasarkan pengelompokan sebagian atau satu bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu. Kemudian beberapa Program Studi akan berada di bawah Departemen-Departemen tersebut yang berfungsi sebagai unit akademik dasar pelaksana SV yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dan/atau profesi terkait dan penelitian terapan yang diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan agar peserta didik dapat menguasai pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Antara tahun 2006-2008 (saat Sekolah Vokasi belum terbentuk), UGM pernah membuka kesempatan alih jalur dari jenjang diploma III ke S-1 atau dikenal dengan istilah S1-Swadaya. Ada empat program studi yang diberi kesempatan, yaitu Pariwisata, Hukum, MIPA, dan Kesehatan Hewan. Namun terhitung sejak diberlakukan SK tersebut, dinyatakan bahwa sehubungan dengan dibukanya Sekolah Vokasi maka Seluruh Fakultas di lingkungan UGM tidak diperkenankan untuk membuka Program D3. Sehingga dapat dipastikan mulai tahun 2009 Program D3 tidak akan lagi dibuka oleh Fakultas, melainkan oleh Sekolah Vokasi. Dan pada nantinya Sekolah Vokasi tidak hanya akan membuka D3, melainkan D1, D2 dan D4 akan dibuka, dan sebagai konsekuensinya S1-Swadaya yang masih diselenggarakan di beberapa Fakultas akan diatur kembali oleh keputusan rektor selanjutnya.
Protes dari mahasiswa pun membuncah seiring dengan makin simpang siurnya keputusan rektor perihal implementasi sekolah vokasi ini !
Persoalannya, Sekolah Vokasi sampai saat ini belum terdaftar di pendidikan tinggi. Sehingga tidak jelas nasib mahasiswa D3 UGM. Kampus pun hanya memberi saran untuk melanjutkan jenjang S1 di universitas lain, atau menunggu di bukanya jalur D4. Dan persoalan memang tidak selesai begitu saja, karena untuk pembukaan D4 tidak semua prodi langsung bisa menyesuaikan SK rektor tersebut, nasib mahasiswa vokasi pun terkatung-katung. Artinya, untuk mendapatkan gelar S1 di UGM mahasiswa harus fresh from beginning !
Mahasiswa Korban Kapitalisme
Sudah menjadi semacam rahasia umum di antara kita bahwa ada semacam “kasta” dalam jenjang pendidikan tinggi. Yakni, kita tahu bahwa S1 dipandang lebih tinggi dari D3, bahkan mungkin D4 sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia kerja, CPNS yang bergelar ahli madya ditempatkan pada golongan II/C, sedangkan yang bergelar sarjana pada golongan III/A. Di berbagai lowongan kerja, lebih banyak yang mencari lulusan S1 dibandingkan D3 dan D4. Jadi bukankah wajar jika banyak calon mahasiswa yang mendamba-dambakan gelar sarjana muda daripada diploma?
Di Indonesia, program sekolah vokasi sama sekali baru. Memang jika di analogikan program sekolah vokasi mirip dengan sekolah kejuruan, dimana orientasi dunia kerja bagi lulusannya. Sementara program sarjana dipersiapkan untuk kebutuhan analitis. Hal ini persis dengan kurikulum pendidikan yang di terapkan negara-negara imperialis seperti Inggris (Havard, Oxford, dsb) di mana ada pemisahan substansi ilmu pengetahuan yang memisahkan teori dan praksis. Di masa depan akan ada lulusan yang khusus di praksis (dari sekolah vokasi) dan khusus di teoritis (dari fakulti), namun secara esensi tetap mereka buruh yang akan diperbudak system kapitalisme. Yang menjadi pertanyaan, cocok kah kurikulum itu di implementasikan di Indonesia ? Apakah memang mahasiswa tak lebih dari kelinci percobaan kurikulum kebarat-baratan tersebut ?
Nyata praktek liberalisasi pendidikan semakin marak saja. Terkait dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010, mendiknas meminta perguruan tinggi negeri (PTN) diminta tidak mengandalkan perolehan dana dari biaya kuliah mahasiswa, namun itu berbalik arah justru pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono dan elit-elit borjuasi lainnya mengembangkan cara baru dalam memberikan bantuan ke PTN dengan mendorong kampus-kampus untuk menekan pendapatan dari uang kuliah mahasiswa, karena dengan cara itulah kampus tersebut bisa mendapatkan pemasukan yang tinggi dengan memanfaatkan program-program kampus maupun program wajib kampus, tidak terlupakan penambahan dalam daftar mata kuliah yang sesuai kebutuhan pasar semisal riset dll. Sekolah vokasi pun demikian, di satu sisi membuka lebar akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, namun dengan biaya yang cukup fantastis, sama saja bohong.
Fakta yang terjadi, program pendidikan tinggi baik vokasi maupun sarjana tidak mampu menjamin masa depan anak bangsa. Tengok saja angka pengangguran sepanjang tahun 2009-2010 pemerintahan SBY-Boediono hanya mampu menurunkan 1,5 persen memasuki tahun 2011 pengangguran terbuka sekarang ada pada angka 9,24 juta. Tetap saja, sektor pendidikan sudah mulai mantap dengan penyusaian-penyusaian sesuai kebutuhan sistem kapitalisme, kebutuhan pasar seperti; kurikulum vokasi. Maka akan sangat ironis manakala pendidikan terdistorsi dari hakikatnya yang mulia yaitu memanusiakan manusia, sebagai alat pembebasan-bebas dari segala bentuk kebodohan, bebas dari kemiskinan singkatnya bebas dari penghisapan manusia atas manusia. Itulah yang paling prinsip dari nilai pendidikan.
Seruan : Galang Kekuatan, Tolak Kapitalisasi Pendidikan !
Kapitalisasi pendidikan dari segi biaya tak perlu di sangsikan lagi. Seiring dengan proses kapitalisasi pendidikan yang semakin massif akhir-akhir ini, biaya pendidikan semakin melonjak dan menutup akses bagi masyarakat indonesia berpenghasilan pas-pasan. Semenjak tahun 2000 hingga Juli 2011 biaya pendidikan mengalami kenaikan ± 288%. Artinya di Indonesia setiap tahun mengalami kenaikan biaya pendidikan mendekati 20%, ini adalah suatu angka yang menakjubkan, ditengah-tengah masyarakat yang sedang terhimpit oleh situasi ekonomi dan harga kebutuhan yang mengalami inflasi. Kurikulum ibarat barang dagangan dan kampus sebagai minimarketnya. Anggaran pendidikan 20 % yang di gembar-gemborkan pemerintah, nyata tak dapat dirasakan anak bangsa. Sebab 20 % termasuk biaya pendidikan militer serta gaji guru dan dosen, bukan dipergunakan untuk memperluas kesempatan anak bangsa mengenyam pendidikan gratis. Implementasi UUD 1945 Pasal 31 bahwa setiap warga negara (tanpa kecuali) berhak mendapatkan pendidikan, akankah sekedar omong kosong ?
Lain lagi, persoalan yang makin panas terasa di beberapa kampus (represifitas terhadap BEM di UTY, skorsing sepihak di UMY, konflik yayasan di Trisakti dan UISU, kasus vokasi di UGM, dan banyak lagi) telah menegaskan mahasiswa sebagai tumbal kapitalisasi pendidikan. Kongkrit saja, hari ini mahasiswa memang jarang di libatkan dalam pengambilan kebijakan di kampus, kendati ada Senat maupun BEM fakultas (masih saja gerak lembaga mahasiswa didikte kampus). Namun pastisipasi aktif seluruh mahasiswa di kampus sangat minim. Jelas kampus harus membuka ruang demokrasi bagi mahasiswa seluas-luasnya, dan perlu setiap pengambilan kebijakan kampus suara mahasiswa harus dihargai 50%.
Jika bukan mahasiswa yang bergerak menjawab persoalan-persoalan kapitalisasi pendidikan, siapa lagi ? Gerakan mahasiswa harus bangkit. Gerakan mahasiswa harus banyak berbenah mengingat makin menurunnya kualitas dan kuantitas perjuangan, yaitu dengan membuat strategi dan taktik untuk menjawab gerak mahasiswa yang makin disorientasi dan fragmentatif.
Pertama, terlalu seringnya gerakan mahasiswa menjadi alat politis bagi elit-elit borjuasi baik sebagai alat untuk memenangkan kampanye-kampanye politik maupun sebagai alat mengegolkan isu-isu elitis. Kasus Miranda Gultom, kasus KPK maupun kasus-kasus elit yang lain, selama tahun 2010 ini dapat menjadi pelajaran kita bersama. Akan sangat mudah bagi elit-elit borjuasi mengarahkan gerakan mahasiswa yang tidak memiliki prespektif dan langgam perjuangan yang jelas. Dalam artian langgam perjuangan yang sepenuh-penuhnya berdasar pada satu tindakan perjuangan bagi hak-hak massanya.
Kedua, gerakan mahasiswa harus membangun alat-alat persatuan perjuangan massa mahasiswa. Dalam hal ini adalah alat persatuan yang tidak hanya bertugas sebagai alat perjuangan yang luas bagi gerakan mahasiswa. Namun juga memiliki tugas untuk menyelesaikan segala persoalan subyektif yang selama ini menjadi pemicu terpecah-pecahnya gerakan mahasiswa. Alat perjuangan yang dibangun atas satu kesadaran bahwa persatuan bukanlah proses yang instan dan dipaksakan, akan tetapi dia berangkat dari irisan-irisan pandangan dan kepentingan yang sama dari elemen-elemen gerakan mahasiswa.
Dan ketiga, hingga saat ini gerakan mahasiswa harus membangun satu korelasi perjuangan dengan gerakan sektoral rakyat terutama gerakan buruh maupun gerakan tani di Indonesia. Hal ini penting bagi gerakan mahasiswa untuk bersentuhan dengan sektor rakyat dalam mempengaruhi persefektif gerakan buruh menuju kualitas pandangannya sampai saatnya mereka sadar akan pentingnya melawan kekuasaan tata produksi kapitalisme. Manifestasi korelasi ini bukan hanya dalam bentuk aksi-aksi solidaritas semata. Lebih jauh dari itu adalah sebuah tindakan bersama antar keduanya dalam usaha sama memajukan prespektif perjuangan, memajukan perluasan perjuangan, serta menguatkan perjuangan di masing-masing sektornya.
Kapan lagi kalo tidak segera kita perbaiki mulai dari sekarang. Setiap ada potensi gejolak di kampus hendaknya gerakan mahasiswa mulai sadar, bahwa menggalang kekuatan bersama baik internal maupun eksternal adalah suatu keharusan. Sebagai langkah maju dalam perjuangan menuju demokratisasi kampus.
“Tolak Kapitalisasi Pendidikan !” adalah tuntutan pokok,
“Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis Bervisi Kerakyatan” adalah seruan wajib.
Sumber :
forkomsiugm.wordpress.com, 9 Desember 2011
http://kabulkurniawan.com
Kompas.com, 24 Februari 2009
http://edukasi.kompas.com. Selasa, 6 Desember 2011 Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM Tuntut Pindah ke S-1
http://metrotvnews.com. Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM Kembali Berunjuk Rasa. Selasa, 6 Desember 2011
suaramerdeka.com, 8 Desember 2011.