Recent Videos

Sabtu, 14 Januari 2012

Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek


Pengantar

Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di  depan 33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri "Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner". Presenta­si  Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang  sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting  dari  seluruh perjalanannya.  Pidato  dan beberapa kutipan dari  diskusi  yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.

Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat  hebat  terhadap kecenderungan "aktivisme" dan "spontanisme", yang belakangan  ini muncul  di  kalangan  kaum radikal di dunia  Barat.  Ia kemudian berbicara  mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang  tidak terpisahkan  antara teori dan praktek.  Selama  diskusi,  Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal  dengan  argumen  panjang lebar.  Beberapa  di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,  "Revolusi Kebudayaan"  di  Cina, perlunya dibentuk sebuah  partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.

Bagian  ketiga  pamflet  ini adalah  pidato  yang  diberikan Mandel  pada  Seminar  Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan  di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel  berpen­dapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas  yang cepat  dan  menghasilkan "proletarianisasi"  tenaga  intelektual, yang  tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak  berhu­bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.

Makin  terasingnya  tenaga  kerja  intelektual  ini  sedikit banyak  menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun  tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi  picu peledak  di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa  memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik  yang  radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.  Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas  dan  di balik  itu  untuk masyarakat yang  menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.  









  BAB I
 Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek 

Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa  lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi  sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al  kekuatan  sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas  masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak­kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis­wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.
Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbeda sebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,  maha­siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil  elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa  mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban­yakan  mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka  diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle­bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe­lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit  dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara­kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan  menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosial nyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek­tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya. Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk  universi­tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar  dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.  Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan  kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  maha­siswa.  Mereka  tidak berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju­kan  oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas  dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membe­nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa. Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera­singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi­tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi­plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat  kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni­versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore­tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya­kan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektu­al dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual. Mereka  memiliki peranan sosial dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu­bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela­lui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai  bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin­dasan  komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana  diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnam  melawan perang agresi imperialisme Amerika. Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun­jung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu­sioner menentang imperialisme. Melalui  analisis  tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani­sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia. Di  Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maka timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi

Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang  dina­mis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di  depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik  keharusan per­juangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi. Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus  menyadari bahwa  mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang  mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perde­batan  di  antara orang-orang tuli, di mana  sebagian pengunjung mengatakan, "yang  penting  aksi! Tidak perlu  yang  lain,  yang penting  aksi!"  sementara  di pihak lain  ada yang mengatakan, "Tidak,  sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang  dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)
Jawaban  yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan  revolu­sioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari  periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisah­kan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan  berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya  katakan sebelumnya, kita tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan  mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu­ji teori kecuali melalui aksi.
Setiap  bentuk  teori yang tidak diuji  melalui  aksi  bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang  tidak berguna  dari  sudut pandang pembebasan manusia.  (tepuk tangan) Hanya  melalui usaha terus menerus memajukan keduanya  pada  saat bersamaan,  tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan  aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal  lain yang  membuat  saya tersentak, dan benar-benar menyentak  karena diajukan  dalam  satu pertemuan orang-orang  sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu  dimensi baru  dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak  ada para  aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di  pihak  lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat  dalam aksi demonstrasi,  maka mereka tidak akan punya  waktu  berpikir atau  menulis  buku, dan dengan begitu maka ada  elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya  katakan bahwa setiap pernyataan yang  menyebut  adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolu­sioner,  yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan  elit yang  kerja pikiran, secara mendasar bukan  pernyataan  sosialis. Pernyataan  itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama  dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisa­si tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang  sosialis  revolusioner pada 50 atau 100  tahun  yang lalu  belum  dapat  melihat hal ini dengan jelas,  seperti  kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk  mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan  pendi­dikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu  pelajaran berharga yang harus kita  ambil  dari kemunduran  Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan  antara  kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat  yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme  dalam bentuk  lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi  dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)
Gerakan  mahasiswa  Eropa  telah mencoba  mencapai  hal  ini sampai  tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia.  Di  sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur  mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi  dengan sosiolog terkemuka, ahli politik  dan  ekonomi dan  mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri.  (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan  hanya  tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner

Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesat­uan  teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam  gerakan mahasiswa  Eropa  dan Amerika Utara. Saya  secara  pribadi yakin bahwa  tanpa organisasi yang revolusioner, bukan  suatu  formasi yang  longgar  tapi sebuah organisasi yang  serius  dan permanen sifatnya,  maka kesatuan teori dan praktek tidak  akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada  dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan  asas  dari mahasiswa  sendiri.  Status kemahasiswaan, hanya  berlaku  untuk jangka  waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat  memperkirakan apa yang terjadi  setelah ia  meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus  ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemim­pin  partai-partai komunis di Eropa  yang  menentang  perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menja­di bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak  mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekar­ang  ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan  tahu  bahwa hanya sebagian kecil dari  lulusan  universitas yang  bisa  menjadi kapitalis atau agen-agen langsung  dari  para kapitalis  ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja  menjadi kenyataan  jika  jumlah  lulusan itu hanya 10.000,  15.000  atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta,  lima  juta mahasiswa, dan tidak  mungkin kebanyakan  dari mereka  akan  menjadi kapitalis atau  manejer  perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen  demagogis  ini ada  benarnya.  Lingkungan  akademis memang  memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat  kesadaran sosial  dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia  tetap di  universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas  politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh  ideologi  dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan  sosial yang  baru  ini, apapun bentuknya.  Ada  kemungkinan  terjadinya proses  mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal  kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini  adalah  gerakan mahasiswa revolusioner yang  paling  tua  di Eropa.  Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat  Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan  universitas. Setelah beberapa tahun, dengan  tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan  orang-orang  militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis  sosialis,  tidak  aktif lagi dalam  politik  dari  sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner  ini,  kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya  dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah  organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama. Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki  satu organisasi partai. Karena  tanpa  organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan  kelas buruh  industri,  dalam pengertian yang  paling  umum sekalipun. Sebagai  Marxis,  saya tetap yakin bahwa tanpa aksi  kelas  buruh tidak  akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan  dan  itu berarti  tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.  (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman  gerakan mahasiswa,  pertama  di Jerman, lalu Prancis dan Italia,  sudah berhasil  mencapai  kesimpulan teoretis tersebut  dalam praktek. Diskusi  yang  sama  tentang relevan atau tidaknya  kelas  buruh industri  bagi  aksi revolusioner dilakukan setahun  atau  bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia. Masalah  ini  ditempatkan  dalam praktek  bukan  hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini  juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar  dari  SDS  Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di  luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang  darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman  seperti  ini mengajarkan  gerakan  mahasiswa  di Eropa  Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan  dengan  kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang  berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik  yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di  sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan  sebagai guru,  karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu,  tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain  penga­laman  kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di  tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan  sejumlah  kecil buruh, setelah tiga  sampai  delapan  bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal,  dan  saat keseimbangan sudah tercapai, maka  sedikit  saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah  untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan  perjuan­gan  kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus.  Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana  dalam  batas  waktu tertentu,  tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial  yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis  revolusioner yang sama. Kita  harus kritis  melihat apakah  integrasi  seperti  ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman  di  Prancis, Italia,  dan  sejumlah negara Eropa Barat  lainnya,  maka  dengan mudah  kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat  dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat  saya  uraikan sekarang, sebuah situasi  khusus muncul  di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolu­sioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu  saja  hal ini dengan cepat  dapat  berubah.  Sejumlah orang  berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa  minggu sebelum  tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di  Amerika Serikat, ada  minoritas  dalam kelas buruh industri  yang  penting,  yaitu buruh  kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa  setelah dua  tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan  sosialis atau  tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di  sini paling tidak  ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara  teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai  tambahan, kiranya penting untuk menganalisa  kecen­derungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan  meng­guncang  ketidakpedulian  politik yang platen  dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan  lingkungan yang  sangat mirip membuktikan bahwa hal  itu  mungkin terjadi. Beberapa  tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman  mengendap stabilitas,  konservatisme,  dan integrasi  masyarakat  kapitalis yang tidak terguncang,  sama seperti Amerika  Serikat  di  mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekua­tan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap  struktur serikat buruh tradisional dan  hak-hak  dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian  sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh.  Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian  banyak saluran tempat  kesadaran sosialis  dan  aktivitas revolusioner dapat menghubungkan  mahasiswa dan buruh,  seperti  ditunjukkan bukan  hanya  oleh Eropa Barat tapi juga oleh  Jepang. Rangkaian penghubung  ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh.  Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terak­hir  yang  mempengaruhi struktur kelas buruh,  sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari  buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam  teknologi yang  telah  berubah  bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang  kehan­curan  total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam  yang tingkat  penganggurannya  sama tinggi seperti tingkat  rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan  ini memperlihatkan  apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda  kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda.  Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang  ini  jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum  muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak  membeda-bedakan antara  mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh. Contoh  kongkret  dari ini adalah insiden  di Flins  ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah  dibunuh oleh  polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk  dan mulai memeriksa para demonstran, memeriksa kartu identitas  orang-orang  yang  lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak,  sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)
Jika  kalian  secara  seksama  membaca  buku-buku  sekarang, industri  film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan  sosial  yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir,  kalian akan lihat bahwa di samping  semua  pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggam­barkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga  semangat memberontak  dari  kaum muda. Ini tidak terbatas  bagi mahasiswa atau  kelompok  minoritas seperti orang kulit  hitam  di  Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda. Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosia­lis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya  pent­ing  bagi  negeri-negeri Barat selama  sepuluh  sampai  limabelas tahun mendatang.  Jika kita berhasil mengangkat kaum  muda  yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya  pikir  ini  sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat-- kita  bisa yakin tentang kemajuan  gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas  dan kebanyakan  orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan,  maka kita  akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan  masuk ke  dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan  teori dan praktek juga berarti bahwa  serangkaian gagasan  kunci  dari gerakan sosialis  dan tradisi revolusioner telah  ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam  gerakan mahasiswa di Amerika  Serikat  ingin  menciptakan sesuatu  yang  sama sekali baru. Aku sepenuh hati  setuju dengan setiap  usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik,  karena apa  yang  telah dicapai oleh generasi-generasi  sebelumnya  juga kurang  meyakinkan dari  sudut  pandang  pembangunan  masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika  kalian menyangka  sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang  sebenarnya sedang  dilakukan adalah mundur ke masa lalu  yang  jauh  lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi  populer di  kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah  sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi  sosial dan kecenderungan kritik  sosialis dikembangkan dalam  jalur  para pemikir besar abad 18 dan  19. Terlepas  dari kalian  suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku  bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya  dicipta­kan  di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan  kecenderungan baru,  kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil  ter­baik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan  untuk  senantiasa menciptakan sesuatu  yang baru hanyalah  satu  aspek  awal dari radikalisme  mahasiswa.  Ketika gerakan  sudah  berkembang menjadi besar dan  bisa  memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang  luas ber­juang  menemukan kembali tradisi sejarah dan  akar-akar historis mereka. Mereka  seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih  kuat  jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari  perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau  bahkan  2.000 tahun  lalu  ketika budak-budak  pertama memberontak   terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejar­ah  dan  terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa  lalu tidak  pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada  yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa  kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita  telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis,  Jer­man,  Italia dan sekarang Inggris kembali kepada  gagasan-gagasan revolusi  sosialis dan demokrasi buruh. Bagi  seseorang  seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusion­er  Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara,  dan menghu­bungkannya dengan  tradisi terbaik  dari  sosialisme.  Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasion­alisme  dari  sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian  bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan  bahwa  gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme,  sama seperti  internasionalisme  dari kelas  buruh. Masalah-masalah internasional  yang  dihadapi adalah masalah  solidaritas  dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang  memimpin perjuangan  besar,  yang  mengangkat revolusi  Amerika  Latin  ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena  kepemim­pinan  yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis  selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan  maha­siswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu  dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah  Mexico untuk  menerima  jutaan dolar dari penonton-penonton  Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa  ia telah mengunjungi  negeri di mana para  pemimpin  serikat  buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan  mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik  kalangan  kiri dipenjara  bertahun-tahun tanpa  pengadilan,  di  mana pemimpin mahasiswa  dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di  penjara  tanpa landasan  hukum. Protes mereka yang heroik  memiliki konsekuensi bagi  masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas  di  negeri itu. (tepuk tangan)
Penting  juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata  ten­tang  mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial  lainnya, yang  tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena  mengor­ganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.
Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi  Amerika  Serikat di Vietnam, yang  tetap menjadi  perjuangan utama  di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu  di Paris,  tidak  berarti bahwa tidak ada yang  dapat  kita  lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya  mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang  dimulai  oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa  Revolu­sioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam,  dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu  Solidaritas  untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai  27  Oktober. Minggu  ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda  dan  revolusioner muda  akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai  tujuan-tujuan yang  diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia  bahwa di  Amerika  Serikat  ada ratusan ribu  orang  yang menginginkan penarikan  kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu  pasti  akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)***

bangun segera gerakan mahasiswa
progressif revolusioner !

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More